Konsep Syariah
Definisi Syariah
Ditinjau dari sudut etimologi (bahasa) syariah bermakna jalan yang lurus. Sedangkan makna terminologi (definisi), syariah adalah undang-undang atau peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan pencipta (Allah SWT), serta hubungan antara manusia dengan manusia. Penerapan syariah dalam setiap kehidupan manusia bertujuan agar manusia memiliki martabat dan derajat yang lebih tinggi dari mahluk lain ciptaan Allah SWT.
Syariah mencakup seluruh aktivitas yang dilakukan oleh seorang muslim dengan aturan-aturan halal dan haram, serta perilaku baik dan buruk. Syariah bertumpu pada kekuatan iman dan budi pekerti (akhlak) serta memiliki implikasi balasan baik di dunia maupun di akhirat. Panduan dalam pengamalan syariah mengacu kepada dua sumber hukum Islam yaitu Al-Quran dan As-Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Perintah untuk menjalankan syariah antara lain tertuang dalam Al-Qur’an Surat 45 (Al-Jaatsiyah) Ayat 18, yang berbunyi:
“Kemudian Kami jadikan kamu (ya Muhammad) berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama), maka ikutilah syariat itu dan jangan kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak berilmu.”
Mengapa Syariah?
Dalam pengertian bahasa, Islam berarti berserah diri. Sementara dalam makna definisi, Islam adalah suatu agama yang juga berarti suatu aturan atau sistem dalam menjalani kehidupan di dunia yang berlandaskan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dalam Islam, terdapat tiga pilar yang merupakan dasar-dasar dalam menjalankan agama, yaitu:
1. Aqidah (Keyakinan)
Aqidah adalah suatu keyakinan yang ditegakkan sebagai agama dan digunakan sebagai fondasi atau dasar bagi umat manusia dalam menjalani kehidupan di dunia. Aqidah bersifat abadi dan tidak pernah berubah, sehingga tidak ada perubahan ataupun modernisasi dalam aqidah. Aqidah atau keyakinan kepada Allah SWT ini harus dipegang teguh oleh umat Islam dalam menjalani setiap aspek dalam kehidupannya di dunia. Setiap aktivitas seorang muslim harus didasari pada aqidah ini sehingga seluruh kegiatannya dapat bernilai ibadah kepada Allah SWT.
Aqidah sangat erat kaitannya dengan iman, yaitu meyakini bahwa Allah SWT adalah Tuhan Pemilik semesta alam. Lawan dari iman adalah kafir yaitu orang yang tidak mempercayai Allah SWT sebagai Tuhan. Ada juga definisi munafik yaitu orang-orang yang mengaku percaya kepada Allah SWT namun di belakangnya mengingkari dan tidak mau melaksanakan perintah Allah SWT. Sementara itu murtad adalah orang yang keluar dari keyakinan kepada Allah SWT, dan musyrik adalah golongan orang-orang yang mempersekutukan Allah SWT dengan sesuatu atau yang percaya bahwa ada Tuhan lain selain Allah SWT.
2. Syariah (Hukum)
Syariah adalah kumpulan peraturan yang terdiri dari petunjuk dan larangan yang diberikan Allah SWT kepada umat manusia. Usaha untuk memahami dan menginterpretasikan peraturan dari Allah SWT tersebut menghasilkan fiqih (penafsiran ulama atas syariah). Dalam menjalani kehidupannya manusia harus tunduk kepada aturan-aturan yang telah ditetapkan agar kehidupannya menjadi lebih aman, tentram, dan sekaligus membawa kesejahteraan dan kebahagiaan bagi orang lain.
Secara umum, ada 5 (lima) hukum syariah yang berlaku pada orang yang sudah dewasa (aqil baligh), seperti di bawah ini;
· Wajib yaitu suatu perintah yang apabila dikerjakan akan mendapat pahala, dan jika ditinggalkan akan berdosa, contoh: kewajiban shalat 5 waktu, zakat, puasa, dsb.
· Sunnah apabila dikerjakan akan mendapat pahala, namun jika ditinggalkan tidak berdosa, contoh: shalat sunnah seperti shalat tahajjud (shalat malam), puasa Senin-Kamis, dll.
· Halal berarti apabila dikerjakan atau pun tidak dikerjakan tidak mendapat pahala, contoh: memakan makanan yang halal.
· Makruh berarti jika ditinggalkan mendapat pahala dan jika dikerjakan tidak berdosa, contoh: merokok
· Haram berarti apabila dikerjakan berdosa, dan jika ditinggalkan mendapat pahala, contoh: berjudi, meminum minuman keras, dll.
3. Akhlak (Etika/Budi Pekerti)
Dalam Islam, segala sesuatu yang berkaitan dengan perilaku manusia secara individu harus sesuai dengan etika dan meyakini bahwa Allah SWT selalu melihat segala tingkah laku kita. Pada tingkatan keimanan yang lebih tinggi, dalam melakukan segala sesuatu semuanya didasari semata-mata hanya demi mencapai keridhaan Allah SWT. Inilah yang disebut Ihsan, yaitu wujud penyembahan manusia kepada Allah SWT dengan sebenar-benarnya, sehingga ketika seseorang menyembah Allah SWT, ia akan merasakan bahwa seolah-olah ia dapat melihat-Nya, tetapi jika ia tidak melihat-Nya, maka ia harus yakin bahwa sesungguhnya Allah SWT dapat melihatnya.
Syariah & Fiqih
Sumber dari syariah adalah Al Qur’an dan As-Sunnah. Para ulama kemudian menafsirkan syariah yang bersumber dari Al Qur’an dan As-Sunnah tersebut ke dalam suatu Fiqih. Fiqih dalam arti bahasa bermakna mengetahui dan memahami, dan menurut istilah berarti suatu ilmu yang menerangkan segala hukum syariah yang bersumber pada Al Qur’an dan As-Sunnah Nabi Muhammad SAW yang ditafsirkan melalui penelitian yang mendalam.
Fiqih dibagi menjadi dua, yaitu fiqih tentang penafsiran yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah yang disebut fiqih ibadah, dan Fiqih tentang penafsiran yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan manusia, yang disebut fiqih muamalah.
Dalam hal ketentuan mengenai ibadah, segala sesuatunya telah diatur oleh Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW karena pada dasarnya semua jenis ibadah tidak diperbolehkan kecuali sudah ada perintah dan ketentuan terhadapnya. Contoh: Sholat yang diwajibkan bagi umat Islam untuk melakukannya adalah 5 waktu dalam sehari, yaitu di waktu Subuh, Dzhuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya’. Umat Islam tidak bisa menambahkan waktu sholat wajib tersebut menjadi 6 atau 7 kali dalam sehari karena ketentuan tentang waktu-waktu sholat wajib tersebut sudah diatur dan ditentukan berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah, yaitu 5 waktu dalam sehari. Demikian juga dengan ketentuan mengenai zakat, puasa, haji, dan ibadah-ibadah lainnya. Semuanya telah diatur dan ditentukan jenis, tata cara, dan waktu pelaksanaannya.
Sedangkan dalam hal peraturan atau ketentuan tentang muamalah, segala sesuatu hukum asalnya adalah boleh dilakukan kecuali bila telah ada larangannya. Contoh: Allah SWT membolehkan manusia untuk melakukan perdagangan tetapi melarang manusia untuk melakukan Riba’ atau membungakan uang.
Asuransi syariah termasuk dalam kategori yang berkaitan dengan ketentuan tentang muamalah.
###
Asuransi Dalam Islam
Islam memandang asuransi sebagai suatu perbuatan yang mulia karena pada dasarnya Islam senantiasa mengajarkan umatnya untuk mempersiapkan segala sesuatu secara maksimal, terutama selagi manusia tersebut mampu dan memiliki sumber daya untuk melakukannya. Hal ini sesuai dengan hadist (perkataan Nabi Muhammad SAW) yang diriwayatkan oleh Muslim, Nabi mengatakan:
“Pergunakanlah lima hal sebelum datangnya lima perkara: muda sebelum tua, sehat sebelum sakit, kaya sebelum miskin, lapang sebelum sempit, dan hidup sebelum mati.”
Jika demikian maka asuransi sesuai dengan makna hadist tersebut, yaitu manusia dianjurkan untuk tidak menyia-nyiakan segala sesuatu, termasuk di dalamnya menghambur-hamburkan kekayaan. Manusia diwajibkan agar dapat mempergunakan kekayaannya untuk hal-hal yang baik dan bermanfaat, seperti mempersiapkan masa depan bagi keluarga dan anak-anak tercinta.
Allah SWT dalam Al Qur’an juga memerintahkan hamba-hambanya untuk senantiasa mempersiapkan diri dalam menghadapi hari esok. Hal ini dapat diwujudkan dalam bentuk menabung ataupun berasuransi.
Menabung adalah setiap upaya mengumpulkan sejumlah dana yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan mendesak ataupun kebutuhan yang lebih besar di kemudian hari. Sedangkan, berasuransi adalah mempersiapkan diri ataupun keluarga jika terjadi suatu musibah seperti kecelakaan, penyakit kritis, cacat, meninggal, dll, atau untuk menyiapkan diri jika suatu ketika pencari nafkah atau tulang punggung keluarga pada usia tertentu sudah tidak produktif lagi, atau mungkin ditakdirkan meninggal dunia.
Oleh sebab itulah, untuk merancang masa depan yang lebih baik dan untuk menghadapi kehidupan di hari esok dengan lebih baik dan terencana sangat diperlukan sebuah perencanaan keuangan yang cermat dan tepat sesuai kebutuhan masing-masing individu.
Namun demikian, Islam memandang asuransi sebagai suatu hal yang baik, namun pada produk-produk asuransi tradisional atau konvensional yang ditemui di pasar masih terdapat tiga unsur utama yang tidak sejalan dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dan ketentuan-ketentuan dalam fiqih muamalah.
Ketiga unsur dalam asuransi tradisional atau konvensional yang tidak sesuai dengan prinsip Syariah tersebut (yang dikenal dengan Magrib) adalah:
1. Maysir
2. Gharar
3. Riba’
Penjelasan Maysir, Gharar dan Riba’
1. Maysir memiliki definisi sebagai perjudian atau permainan untung-untungan. Dikatakan untung-untungan karena hasilnya bisa untung bisa juga rugi.
Hal ini dilarang dalam Islam berdasarkan Al Qur’an surat Al Maa-idah (5) ayat 90, yang berbunyi:
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya arak, judi, berhala dan mengundi nasib adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan, maka hendaklah kamu jauhi, agar kamu mendapat keberuntungan.”
Contoh maysir yang terdapat dalam asuransi adalah bila perusahaan asuransi menyelenggarakan undian sebagai hadiah pada aktivitas promosi, maka biayanya tidak boleh dibebankan sebagai harga pokok penjualan kepada semua orang, tetapi harus murni uang yang dikeluarkan untuk biaya promosi, tidak boleh mengakibatkan manfaat dari premi asuransi lain yang tidak mendapat undian jadi berkurang.
2. Gharar yaitu situasi di mana terdapat informasi yang tidak jelas, sehingga terjadi ketidakpastian dari kedua belah pihak yang bertransaksi.
Gharar dilarang dalam Islam karena:
a) pihak-pihak yang mengikat kontrak tidak mengerti ketentuan/konsekuensi dari kontrak tersebut.
b) sehingga hal ini dapat menempatkan mereka pada posisi tawar menawar yang tidak seimbang, dan akibatnya mereka tidak bisa membuat keputusan dengan jelas.
Contoh Gharar pada zaman dahulu, yaitu penjualan yang ditentukan dengan melempar batu. Artinya bahwa pembeli membayar jumlah (harga) tertentu kepada penjual dengan cara melempar sebuah batu kepada sejumlah barang. Bila batu tersebut mengenai sebuah barang, maka terjadilah penjualan tersebut. Sehingga hal ini dapat merugikan pihak pembeli karena ada ketidakjelasan tentang ketentuan dan konsekuensi dari transaksi/kontrak tersebut. Dengan demikian posisi tawar menawar (bargaining position) salah satu pihak tersebut tidak seimbang sehingga mereka tidak dapat mengambil keputusan yang jelas berkaitan dengan transaksi tersebut.
Kontrak penjualan semestinya merupakan suatu hal yang sangat serius dan tidak boleh dilakukan dengan metode lempar batu seperti itu.
Contoh gharar yang terdapat dalam asuransi adalah bila seandainya perusahaan asuransi menyatakan akan membayar klaim maksimal 20 hari sejak adanya kesepakatan jumlah klaim yang dibayar. Dalam hal ini terjadi unsur ketidakjelasan mengenai “20 hari”. Apakah maksudnya 20 hari kerja (tidak memasukkan hari Sabtu, Minggu, dan hari libur), ataukah 20 hari kalender?
3. Riba’ yaitu keuntungan atau kelebihan pada pengembalian yang berbeda dari nilai aslinya. Kelebihannya biasanya ditentukan pada saat pinjaman dilakukan.
Dalam hukum Islam atau syariah, riba’ dapat terjadi dalam dua situasi utama, yaitu:
(1) Riba’ al duyun yaitu riba’ yang terjadi karena transaksi utang piutang
(2) Riba’ al buyu yaitu riba’ yang terjadi karena transaksi penjualan
Dalam Al Qur’an, larangan melakukan riba’ terdapat dalam Surat Al Baqarah (2) ayat 275, yang berbunyi:
“… padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba’…”
Dari ayat inilah, para ulama fiqih muamalah mentafsirkan bahwa riba’ dilarang bagi umat Islam untuk melakukannya. Larangan melakukan riba’ ini mencakup pada aktivitas-aktivitas sebagai berikut:
(1) semua aktivitas pinjam meminjam yang berdasarkan bunga
(2) penghasilan tetap pada deposito bank konvensional
Oleh karena itu, agar sesuai dengan konsep syariah, maka produk asuransi syariah tidak boleh mengandung atau melibatkan aktivitas riba’ di dalamnya.
Riba’ dalam asuransi adalah sbb:
(1) Investasi terhadap premi yang diterima ke dalam aktivitas investasi yang berbasis riba’
(2) Pinjaman Premi Otomatis (Automatic Premium Loan/APL)
(3) Pinjaman Polis
Pada asuransi tradisional, terdapat unsur-unsur riba’ pada penerapannya, seperti:
· Investasi premi yang diterima ke dalam aktivitas investasi yang berbasis riba’ seperti disimpan dalam bentuk deposito.
· Pemegang polis mengambil fasilitas Pinjaman Premi Otomatis, yaitu bila pembayaran premi belum diterima hingga berakhirnya masa tunggu (grace period). Karena pada polis nasabah sudah memiliki nilai tunai yang cukup untuk digunakan untuk membayar premi tersebut, maka perusahaan secara otomatis akan mengambil nilai tunai tersebut dengan status sebagai pinjaman oleh pemegang polis untuk membayar premi tertunggak agar polis tidak batal (lapse). Pada saat jatuh tempo selanjutnya pemegang polis harus membayar pinjaman tersebut plus bunganya, serta harus tetap membayar premi jatuh tempo berikutnya.
· Pemegang polis meminjam sejumlah uang dari nilai tunai polisnya yang telah terbentuk, dan harus membayar pinjaman tersebut plus bunganya.
Pada semua aktivitas tersebut di atas terdapat unsur-unsur riba’ di dalamnya, dan semua aktivitas tersebut sama sekali tidak boleh ada dalam produk asuransi yang berbasis syariah.
###
Asuransi Syariah
Sejarah Asuransi Syariah
Sejarah terbentuknya asuransi syariah dimulai sejak 1979 ketika sebuah perusahaan asuransi jiwa di Sudan, yaitu Sudanese Islamic Insurance pertama kali memperkenalkan asuransi syariah. Kemudian pada tahun yang sama sebuah perusahaan asuransi jiwa di Uni Emirat Arab juga memperkenalkan asuransi syariah di wilayah Arab.
Setelah itu pada tahun 1981 sebuah perusahaan asuransi jiwa Swiss, bernama Dar Al-Maal Al-Islami memperkenalkan asuransi syariah di Jenewa. Diiringi oleh penerbitan asuransi syariah kedua di Eropa yang diperkenalkan oleh Islamic Takafol Company (ITC) di Luksemburg pada tahun 1983.
Bersamaan dengan itu, sebuah perusahaan asuransi syariah bernama Islamic Takafol & Re-Rakafol Company juga didirikan di Kepulauan Bahamas pada 1983. Demikian juga halnya dengan Bahrain, sebuah perusahaan asuransi jiwa berbasis syariah, yaitu Syarikat Al-Takafol Al-Islamiah Bahrain didirikan tahun 1983.
Di Asia sendiri, asuransi syariah pertama kali diperkenalkan di Malaysia pada tahun 1985 melalui sebuah perusahaan asuransi jiwa bernama Takaful Malaysia.
Hingga saat ini asuransi syariah semakin dikenal luas dan diminati oleh masyarakat dan negara-negara baik muslim maupun non-muslim.
Pengertian Asuransi Syariah
Pengertian Asuransi Syariah berdasarkan Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah sebuah usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui Akad yang sesuai dengan syariah.
Asuransi Syariah adalah sebuah sistem di mana para peserta mendonasikan sebagian atau seluruh kontribusi/premi yang mereka bayar untuk digunakan membayar klaim atas musibah yang dialami oleh sebagian peserta.
Proses hubungan peserta dan perusahaan dalam mekanisme pertanggungan pada asuransi syariah adalah sharing of risk atau “saling menanggung risiko”. Apabila terjadi musibah, maka semua peserta asuransi syariah saling menanggung. Dengan demikian, tidak terjadi transfer risiko (transfer of risk atau “memindahkan risiko”) dari peserta ke perusahaan seperti pada asuransi konvensional.
Peranan perusahaan asuransi pada asuransi syariah terbatas hanya sebagai pemegang amanah dalam mengelola dan menginvestasikan dana dari kontribusi peserta.
Jadi pada asuransi syariah, perusahaan hanya bertindak sebagai pengelola operasional saja, bukan sebagai penanggung seperti pada asuransi konvensional.
Tabarru’
Definisi tabarru’ adalah sumbangan atau derma (dalam definisi Islam adalah Hibah). Sumbangan atau derma (hibah) atau dana kebajikan ini diberikan dan diikhlaskan oleh peserta asuransi syariah jika sewaktu-waktu akan dipergunakan untuk membayar klaim atau manfaat asuransi lainnya.
Dengan adanya dana tabarru’ dari para peserta asuransi syariah ini maka semua dana untuk menanggung risiko dihimpun oleh para peserta sendiri. Dengan demikian kontrak polis pada asuransi syariah menempatkan peserta sebagai pihak yang menanggung risiko, bukan perusahaan asuransi, seperti pada asuransi konvensional.
Oleh karena dana-dana yang terhimpun dan digunakan dari dan oleh peserta tersebut harus dikelola secara baik dari segi administratif maupun investasinya, untuk itu peserta memberikan kuasa kepada perusahaan asuransi untuk bertindak sebagai operator yang bertugas mengelola dana-dana tersebut secara baik.
Jadi jelas di sini bahwa posisi perusahaan asuransi syariah hanyalah sebagai pengelola atau operator saja dan BUKAN sebagai pemilik dana. Sebagai pengelola atau operator, fungsi perusahaan asuransi hanya MENGELOLA dana peserta saja, dan pengelola tidak boleh menggunakan dana-dana tersebut jika tidak ada kuasa dari peserta.
Dengan demikian maka unsur ketidakjelasan (Gharar) dan untung-untungan (Maysir) pun akan hilang karena:
1) Posisi peserta sebagai pemilik dana menjadi lebih dominan dibandingkan dengan posisi perusahaan yang hanya sebagai pengelola dana peserta saja.
2) Peserta akan memperoleh pembagian keuntungan dari dana tabarru’ yang terkumpul.
Hal ini tentunya sangat berbeda dengan asuransi konvensional (non-syariah) di mana pemegang polis tidak mengetahui secara pasti berapa besar jumlah premi yang berhasil dikumpulkan oleh perusahaan, apakah jumlahnya lebih besar atau lebih kecil daripada pembayaran klaim yang dilakukan, karena di sini perusahaan, sebagai penanggung, bebas menggunakan dan menginvestasikan dananya ke mana saja.
Azaz Asuransi Syariah
Azas yang mendasari asuransi syariah adalah Azas Jaminan Bersama. Hal ini tercermin dari penyertaan para peserta dalam bentuk hibah atau sumbangan atau derma pada dana tabarru’ yang didasari pada azas sukarela dan disetujui bersama.
Pada prakteknya, kedua azas tersebut pelaksanaannya diterapkan dengan menggunakan rekening tabarru’ sebagai wadah untuk saling tolong menolong dan membantu di antara para peserta apabila terjadi kerugian atau risiko terhadap peserta.
Prinsip-Prinsip Asuransi Syariah
Prinsip-prinsip asuransi syariah adalah sbb:
1) Tanggung Jawab Bersama
2) Saling Membantu dan Bekerja sama
3) Perlindungan Bersama
Risk Transferring VS. Risk Sharing
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa terdapat perbedaan mendasar dan prinsipil dalam hal jaminan/risiko antara asuransi syariah yang menggunakan azaz Risk Sharing (saling menanggung risiko) dengan asuransi konvensional yang menggunakan azaz Risk Transferring (pengalihan risiko).
Pada asuransi konvensional, pemilik polis mengalihkan risiko finansialnya kepada perusahaan asuransi. Oleh karena itu dalam asuransi konvensional, hubungan antara pemegang polis dan perusahaan asuransi dinamai dengan hubungan antara tertanggung dan penanggung. Dan kepemilikan dana pun berpindah dari pemilik polis ke perusahaan asuransi. Dengan demikian, jika suatu saat timbul suatu risiko, maka perusahaan asuransi akan menanggung risiko tersebut karena risiko telah berpindah dari pemilik polis ke perusahaan sebagai konsekuensi dari pembayaran premi. Inilah yang disebut dengan azas Risk Transferring (pengalihan risiko).
Tetapi pada asuransi syariah, hubungan peserta dengan perusahaan asuransi adalah saling menanggung risiko di mana peserta secara bersama-sama dan sukarela mengumpulkan dana dalam bentuk iuran kontribusi ke dalam rekening tabarru’. Sehingga kepemilikan dana atas iuran kontribusi tersebut tetap melekat pada peserta, dan apabila suatu saat timbul suatu risiko, maka para peserta sendirilah yang akan membayarkan klaim atas risiko tersebut dari dana tabarru’. Inilah yang disebut dengan azas Risk Sharing (saling menanggung risiko).
Asuransi Pendidikan Syariah
BalasHapus